Archive for February 8th, 2011

February 8, 2011

“ KEUTAMAAN SHALAT TAHAJUD ”

Shalat malam, bila shalat tersebut dikerjakan sesudah tidur, dinamakan shalat Tahajud, artinya terbangun malam. Jadi, kalau mau mengerjakansholat Tahajud, harus tidur dulu. Shalat malam ( Tahajud ) adalah kebiasaan orang-orang shaleh yang hatinya selalu berdampingan denganAllah azza wa jalla.

Berfirman Allah di dalam Al-Qur’an :
“ Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”
(QS : Al-Isro’ : 79)

Shalat Tahajud adalah shalat yang diwajibkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum turun perintah shalat wajib lima waktu. Sekarang shalat Tahajud merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan .

Sahabat Abdullah bin
Salam mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“ Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Sorga dengan selamat.”(HR Tirmidzi)

Bersabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” ( HR. Muslim )

Waktu Untuk Melaksanakan Sholat Tahajud :
Kapan afdhalnya shalat Tahajud dilaksanakan ? Sebetulnya waktu untuk melaksanakan shalat Tahajud ( Shalatul Lail ) ditetapkan sejak waktu Isya’ hingga waktu subuh ( sepanjang malam ). Meskipun demikian, ada waktu-waktu yang utama, yaitu :
1. Sangat utama : 1/3 malam pertama ( Ba’da Isya – 22.00 )
2. Lebih utama : 1/3 malam kedua ( pukul 22.00 – 01.00 )
3. Paling utama : 1/3 malam terakhir ( pukul 01.00 – Subuh )

Menurut keterangan yang sahih, saat ijabah (dikabulkannya do’a) itu adalah 1/3 malam yang terakhir. Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “ Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”
Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya.” (HR Ahmad)

Bersabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“ Sesungguhnya pada waktu malam ada satu saat ( waktu. ). Seandainya seorang Muslim meminta suatu kebaikan didunia maupun diakhirat kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya. Dan itu berlaku setiap malam.” ( HR Muslim )

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi :
“Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun ( ke langit dunia ) [Rahmat Allah] ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman : “ Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” ( HR Bukhari dan Muslim )

Jumlah Raka’at Shalat Tahajud :
Shalat malam (Tahajud) tidak dibatasi jumlahnya, tetapi paling sedikit 2 ( dua ) raka’at. Yang paling utama kita kekalkan adalah 11 ( sebelas ) raka’at atau 13 ( tiga belas ) raka’at, dengan 2 ( dua ) raka’at shalat Iftitah. Cara (Kaifiat) mengerjakannya yang baik adalah setiap 2 ( dua ) rakaat diakhiri satu salam. Sebagaimana diterangkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :“ Shalat malam itu, dua-dua.” ( HR Ahmad, Bukhari dan Muslim )

Adapun Kaifiat yang diterangkan oleh Sahabat Said Ibnu Yazid, bahwasannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam 13 raka’at, sebagai berikut :
1) 2 raka’at shalat Iftitah.
2) 8 raka’at shalat Tahajud.
3) 3 raka’at shalat witir.

Adapun surat yang dibaca dalam shalat Tahajud pada raka’at pertama setelah surat Al-Fatihah ialah Surat Al-Baqarah ayat 284-286. Sedangkan pada raka’at kedua setelah membaca surat Al-Fatihah ialah surat Ali Imron 18-19 dan 26-27. Kalau surat-surat tersebut belum hafal, maka boleh membaca surat yang lain yang sudah dihafal.Rasulullah SAW bersabda :
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Jika tidak mau bangun, maka percikkan kepada wajahnya dengan air. Demikian pula Allah menyayangi perempuan yang bangun untuk shalat malam, juga membangunkan suaminya. Jika menolak, mukanya
disiram air.” (HR Abu Daud)

Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Jika suami membangunkan istrinya untuk shalat malam hingga
keduanya shalat dua raka’at, maka tercatat keduanya dalam golongan (perempuan/laki-laki) yang selalu berdzikir.”(HR Abu Daud)

Keutamaan Shalat Tahajud :
Tentang keutamaan shalat Tahajud tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari bersabda : “Barang siapa mengerjakan shalat Tahajud dengan
sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah akan memberikan 9 macam kemuliaan : 5 macam di dunia dan 4 macam di akhirat.”
Adapun lima keutamaan didunia itu, ialah :
1. Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya.
3. Akan dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh
semua manusia.
4. Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah.
5. Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama.

Sedangkan yang empat keutamaan diakhirat, yaitu :
1. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti.
2. Akan mendapat keringanan ketika di hisab.
3. Ketika menyebrangi jembatan Shirotol Mustaqim, bisa melakukannya dengan sangat cepat, seperti halilintar yang menyambar.
4. Catatan amalnya diberikan ditangan kanan.

 

Semoga Manfaat buat kita semua, silahkan di share..

February 8, 2011

Tentang berbuat baik, dan membalas kebaikan orang lain

Membalas Kebaikan Orang Lain

Para pembaca rahimakumullah, berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih kepadanya; namun jika menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkarinya…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 157)

Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya.

Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan.

Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah!, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585)

Berbalas budi -di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat- adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Bentuk Balas Budi

Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak, maka memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan, dan memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.

Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pmberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib no. 963)

Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.

Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya,

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,” ia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2035)

Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak

Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Subhanallahu wa Ta’ala jika belum berterima kasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya)

Hadits ini mengandung dua pengertian:

1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterima kasih terhadap kebaikan orang, biasanya ia juga mengingkari nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan tidak mensyukuri-Nya.

2. Allah Subhanallahu wa Ta’ala tidak menerima syukur hamba kepada-Nya apabila hamba tersebut tidak mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.

Ini adalah makna ucapan Al-Imam Al-Khatthabi v seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah).

Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang tak terbilang?! Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18)

Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya

Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)

Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mempu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.

Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterima kasih kepada suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya pandai-pandai berterima kasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, ia akan diancam dengan api neraka.

Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907)

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (memohon ampunan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala), karena aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”

Ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524)

Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya.

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seperti cemburuku atas Khadijah radhiyallahu ‘anha, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Terkadang aku berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah!’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas diketahui bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan pergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.

Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Shahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu -yang termasuk orang Anshar-, beliau memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas radhiyallahu ‘anhu, padahal beliau lebih tua darinya. Anas radhiyallahu ‘anhu menegur Jarir radhiyallahu ‘anhu supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir radhiyallahu ‘anhu beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga ia (Jarir radhiyallahu ‘anhu) bersumpah akan memberikan pelayanan dan penghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)

Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.